Selasa, 25 November 2014

love story



Cinta Kok Seharga Es Teh?!



~Seberapapun harga barang yang kita berikan kepada orang yang kita sayangi akan sangat lebih berharga jika barang tersebut diberikan dengan hati yang tulus bukan dengan harga yang mahal, seperti temanku walau hanya es teh tapi dapat menyatukan mereka.~
“Triiing.. Triing...”, alarmku sudah berbunyi untuk sekian kalinya, tapi aku masih terlalu malas untuk bangun. Tak lama terdengar suara wanita paruh baya berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamarku “Ritaaaaa... Sudah jam tujuh kurang seperempat, ayo banguuun..”. Spontan aku langsung liat jam. 6:45!!! ‘Gawat, bisa telat’, pikirku. Dengan kecepatan super aku lari keluar kamar langsung menuju kamar mandi. Mama cuma geleng-geleng liat kelakuanku.
Oke sambil nunggu aku mandi dan siap-siap lebih baik kita berkenalan. Namaku Ritania Anggraini, cukup panggil Rita aja. Kata temen-temen sih aku anaknya asik (kalo udah deket) tapi cuek. Kata temen-temen juga aku itu tomboy dan jail banget (padahal gak juga *bo’ong* #plak). Kebiasan buruk aku ya itu tadi, susah banget deh buat bangun pagi (bilang aja pemalas). Eiits, gini-gini aku ketua club lho. Yah walaupun hanya sebuah club dancer yang masih kecil. Kebetulan anggotanya satu sekolah semua.
Yosh.. Aku udah selesai. “Ma, Rita berangkat dulu ya.”, teriakku langsung mengambil sepeda dan melesat menjauhi rumah. Tak lupa tadi kusambar beberapa roti tawar dari meja makan. Kulihat jam tanganku yang berwarna biru (warna favoritku), 6:55. Gawat.. Kupercepat laju sepedaku. Sampai di gerbang terlihat cowok berbadan tegap berambut pirang yang juga menaiki sepeda. Dia adalah Juan. Pacarku. Sekilas tentang Juan. Dia salah satu anggota club (harusnya dia ketuanya -_-). Pemikirannya dewasa banget, paling alay (berlebihan) dan yang parah itu kalau lolanya kambuh. Susah deh.
“Mon, tunggu”, teriakku. Emon itu panggilan kesayanganku ke dia. Berhubung aku suka Doraemon. Nah kalo dia sih manggil aku Zuka (dari nama Shizuka katanya). Hehehe.. Juan menoleh kearahku dan memperlambat laju sepedanya. “Buruan Ka”. Bersama kami menuju parkiran. Segera kami berlari menuju kelas masing-masing setelah menaruh sepeda. Ya kelas kami berbeda.
“Brak” pintu kelas aku buka. Untung belum ada gurunya. Langsung aja aku ke bangkuku. “Kapan sih Ta kamu gak datang telat?”, ledek Adit, cowok kulit coklat berambut hitam yang duduk disebelahku (bangkunya ala kelas di Jepun). “Kalo jam masuknya agak siangan. Hehe..”, sahutku asal. Adit ini juga anggota club. Sama dewasanya seperti Juan, asik juga. Jeleknya dia itu suka motret pas momen yang gak asik, sok tau juga dan paling gampang laper. “Ta, jadikan ikut lombanya?”, tanya anak cewek berambut hitam panjang di depanku. Ini dia tokoh utama kita. Dini namanya. Sohibku dan anggota club juga. Ini anak lugu, polos dan lolanya minta ampun deh. Tapi dia baik hati dan gak mudah marah. Makanya dia sering jadi bahan pembullyan kami (aku dan temen-temen), tapi cuma untuk fun-fun aja kok. “Jadi dong Din. Nanti anak-anak suruh latihan ya. Pokoknya dua bulan ini kita latihan intensif. Dan kamu (nunjuk Adit) awas kalo sampe kabur (pasang tampang yandere)”. “Iye-iye”. Waktu Dini mau tanya lagi, gurunya dateng. Yup, pelajaran dimulai.
To be continue..