Cinta Kok Seharga Es Teh?!
~Seberapapun harga barang yang kita berikan kepada
orang yang kita sayangi akan sangat lebih berharga jika barang tersebut
diberikan dengan hati yang tulus bukan dengan harga yang mahal, seperti temanku
walau hanya es teh tapi dapat menyatukan mereka.~
“Triiing.. Triing...”, alarmku sudah berbunyi untuk
sekian kalinya, tapi aku masih terlalu malas untuk bangun. Tak lama terdengar
suara wanita paruh baya berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamarku
“Ritaaaaa... Sudah jam tujuh kurang seperempat, ayo banguuun..”. Spontan aku
langsung liat jam. 6:45!!! ‘Gawat, bisa telat’, pikirku. Dengan kecepatan super
aku lari keluar kamar langsung menuju kamar mandi. Mama cuma geleng-geleng liat
kelakuanku.
Oke sambil nunggu aku mandi dan siap-siap lebih baik
kita berkenalan. Namaku Ritania Anggraini, cukup panggil Rita aja. Kata
temen-temen sih aku anaknya asik (kalo udah deket) tapi cuek. Kata temen-temen
juga aku itu tomboy dan jail banget (padahal gak juga *bo’ong* #plak). Kebiasan
buruk aku ya itu tadi, susah banget deh buat bangun pagi (bilang aja pemalas).
Eiits, gini-gini aku ketua club lho. Yah walaupun hanya sebuah club dancer yang
masih kecil. Kebetulan anggotanya satu sekolah semua.
Yosh.. Aku udah selesai. “Ma, Rita berangkat dulu ya.”,
teriakku langsung mengambil sepeda dan melesat menjauhi rumah. Tak lupa tadi
kusambar beberapa roti tawar dari meja makan. Kulihat jam tanganku yang
berwarna biru (warna favoritku), 6:55. Gawat.. Kupercepat laju sepedaku. Sampai
di gerbang terlihat cowok berbadan tegap berambut pirang yang juga menaiki
sepeda. Dia adalah Juan. Pacarku. Sekilas tentang Juan. Dia salah satu anggota
club (harusnya dia ketuanya -_-). Pemikirannya dewasa banget, paling alay (berlebihan) dan yang parah itu
kalau lolanya kambuh. Susah deh.
“Mon, tunggu”, teriakku. Emon itu panggilan
kesayanganku ke dia. Berhubung aku suka Doraemon. Nah kalo dia sih manggil aku
Zuka (dari nama Shizuka katanya). Hehehe.. Juan menoleh kearahku dan
memperlambat laju sepedanya. “Buruan Ka”. Bersama kami menuju parkiran. Segera
kami berlari menuju kelas masing-masing setelah menaruh sepeda. Ya kelas kami
berbeda.
“Brak” pintu kelas aku buka. Untung belum ada gurunya.
Langsung aja aku ke bangkuku. “Kapan sih Ta kamu gak datang telat?”, ledek
Adit, cowok kulit coklat berambut hitam yang duduk disebelahku (bangkunya ala
kelas di Jepun). “Kalo jam masuknya agak siangan. Hehe..”, sahutku asal. Adit
ini juga anggota club. Sama dewasanya seperti Juan, asik juga. Jeleknya dia itu
suka motret pas momen yang gak asik, sok tau juga dan paling gampang laper.
“Ta, jadikan ikut lombanya?”, tanya anak cewek berambut hitam panjang di
depanku. Ini dia tokoh utama kita. Dini namanya. Sohibku dan anggota club juga.
Ini anak lugu, polos dan lolanya
minta ampun deh. Tapi dia baik hati dan gak mudah marah. Makanya dia sering
jadi bahan pembullyan kami (aku dan
temen-temen), tapi cuma untuk fun-fun aja kok. “Jadi dong Din. Nanti anak-anak
suruh latihan ya. Pokoknya dua bulan ini kita latihan intensif. Dan kamu
(nunjuk Adit) awas kalo sampe kabur (pasang tampang yandere)”. “Iye-iye”. Waktu
Dini mau tanya lagi, gurunya dateng. Yup, pelajaran dimulai.
To be continue..